PENERAPAN STANDARISASI SAPI BALI PEJANTAN BERDASARKAN SNI 7651-4:2020
Sapi Bali merupakan salah satu plasma nutfah di Indonesia yang dibudidayakan dan menyebar hampir di seluruh propinsi di Indonesia serta perlu dipertahankan kelestariannya. Pembibitan Sapi Bali merupakan salah satu usaha peternakan yang mempunyai prospek yang masih sangat bagus karena kebutuhan maupun permintaan daging cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan juga dikarenakan meningkatnya kesadaran akan arti pentingnya gizi serta tingkat pendapatan masyarakat.
Sapi Bali merupakan sapi tipe dwiguna yaitu tipe pedaging dan kerja dan menjadi primadona sapi potong di Indonesia. Sapi lokal ini mempunyai efisiensi reproduksi tinggi dan memiliki kualitas karkas serta pertumbuhan yang baik, persentase karkas mencapai 57%, bentuk badannya kompak dan serasi, daya adaptasi terhadap lingkungan baik, memiliki kemampuan menggunakan sumber pakan yang terbatas (Susilawati, 2017), persentase kelahirannya dapat mencapai 80% (Chamdi, 2005). Periode kebuntingan 280-294 hari, rata-rata persentase kebuntingan 86,56%, tingkat kematian pasca kelahiran anak sapi hanya 3,65%, persentase kelahiran 83,4%, interval penyapihan antara 15,48–16,28 bulan (Ngadiyono, 2012). Sapi Bali juga lebih baik sebagai ternak pada iklim tropik yang lembab karena memperlihatkan kemampuan tubuh yang baik dengan pemberian pakan yang bernilai gizi tinggi (Guntoro, 2002), sehingga mempunyai nilai jual tinggi dalam sektor agribisnis peternakan.
Sifat produksi dan reproduksi merupakan sifat penting yang dapat digunakan sebagai indikator seleksi pada ternak. Sapi Bali memiliki produksi yang bisa dilihat dari bibitnya, memilih bibit yang baik merupakan salah satu aspek penting didalam produksi. Bibit sapi Bali sebaiknya dipilih berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang meliputi asal usul pejantan, kondisi kesehatan pejantan serta penampilan kualitatif dan kuantitatif. SNI sebagai upaya untuk meningkatkan jaminan mutu ternak.
Asal usul Pejantan Sapi Bali
Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari banteng (bibos banteng) dan merupakan sapi asli Pulau Bali ( Pane,1990) Ditinjau dari sistematika ternak, Sapi Bali masuk familia bovidae, genus bos dan sub-genus bovine, yang termasuk dalam sub-genus tersebut adalah bibos gaurus, bibos frontalis dan bibos sondaicus (Hardjosubroto, 1994), Sapi Bali (Bos-Bibos Banteng) yang spesies liarnya adalah banteng termasuk familia bovidae, genus bos dan sub genus bibos (Williamson dan Payne, 1993).
Ciri-ciri sapi Bali
Secara fisik, sapi Bali mudah dikenali karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Warna bulunya pada badannya akan berubah sesuai usia dan jenis kelaminnya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada saat masih “pedet”, bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah dewasa sapi bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi bali betina. Warna bulu sapi bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata kembali apabila sapi bali jantan itu dikebiri, yang disebabkan pengaruh hormon testosterone.
2. Kaki di bawah persendian telapak kaki depan (articulatio carpo metacarpeae) dan persendian telapak kaki belakang (articulatio tarco metatarseae) berwarna putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Warna bulu putih juga dijumpai pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Kadang-kadang bulu putih terdapat di antara bulu yang coklat (merupakan bintik-bintik putih) yang merupakan kekecualian atau penyimpangan yang ditemukan sekitar kurang dari 1% . Bulu sapi bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan mengkilap.
3. Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang.
4. Badan padat dengan dada yang dalam.
5. Tidak berpunuk dan seolah-olah tidak bergelambir
6. Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau.
7. Pada tengah-tengah (median) punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor.
8. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam
9. Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk jenis sapi betina tumbuh ke bagian dalam.
10. Memiliki bentuk yang relatif persegi dan simetris. Bentuk tubuh membesar ke arah depan, menunjukkan kesamaannya bahwa sapi bali berasal dari banteng liar.
Penampilan Fisik Pejantan Sapi Bali
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan calon indukan jantan antara lain : Penampilan luar calon indukan jantan harus dipilih yang memiliki penampilan luar yang baik (Guntoro, 2002). Biasanya, Sapi Bali yang memiliki penampilan luar baik akan mempengaruhi produktivitas dan mutu anak yang dihasilkan. Untuk menilai penampilan luar Sapi Bali dapat dilihat dari kondisi umum dan kondisi khusus.
1. Kondisi umum
Adapun penampilan luar sapi yang perlu diperhatikan dalam pemilihan calon indukan adalah :
a. Sapi dalam keadaan sehat dan tidak cacat
b. Sapi memiliki mata cerah dan kulit mengkilat (tidak kusam)
c. Sapi bergerak lincah dan nafsu makannya baik
d. Sapi memiliki leher panjang dan besar
e. Sapi memiliki tubuh panjang, berbentuk balok (segi empat), dan dada dalam
f. Sapi memiliki kaki besar, tegak, dan kokoh
g. Sapi memiliki pertumbuhan tubuh yang kompak/serasi
h. Sapi memiliki warna kulit dan bulu khas Sapi Bali (hitam legam untu sapi jantan dan merah untuk sapi betina).
2. Kondisi khusus
Berdasarkan ketentuan kontes dan pameran ternak nasional, yang termasuk dalam “statistik vital” pada ternak sapi meliputi ukuran tinggi pundak, panjang badan, lingkar dada, lingkar skrotum dan umur sapi. Ukuran “statistik vital” dari organ tertentu jika dikaitkan dengan umur sapi akan menggambarkan keharmonisan perkembangan tubuh dan produktivitas (pertumbuhan). Karena itu, pertumbuhan organ-organ tertentu berhubungan dengan berat badan.
Persyaratan kualitatif dan kuantitatif
SNI menyebutkan bahwa standar sapi Bali pejantan dari persyaratan kualitatif yaitu memiliki warna badan merah atau kehitaman (umur < 18 bulan) dan hitam (>18 bulan), keempat lutut ke bawah putih, pantat putih berbentuk setengah bulan, ujung ekor hitam, tanduk tumbuh normal, melengkung mengarah ke atas dan berwarna hitam serta bentuk kepala lebar dengan leher kompak dan kuat.
Persyaratan minimum kuantitatif pada bibit sapi bali Jantan terdiri dari Tinggi Pundak (TP), Panjang Badan (PB), Lingkar Dada (LD) dan Lingkar Skrotum (LS) dalam satuan cm memiliki ukuran minimum untuk Kelas I, Kelas II dan Kelas III masing-masing : umur 205 hari = TP (80; 86 dan 83), PB (86; 82 dan 78), LD (108; 103 dan 98), umur 12 bulan = TP (102; 98 dan 94), PB (96; 92 dan 87), LD (127; 122 dan 117), SD (16; 14 dan 11) serta umur 24 bulan = TP (121; 118 dan 115), PB (121; 117 dan 112), LD (167; 160 dan 154), LS (26; 25 dan 24).
Cara pengukuran persyaratan kuantitatif
Pengukuran kuantitatif bibit sapi Bali dilakukan pada posisi sapi berdiri sempurna (paralelogram/posisi keempat kaki berdiri tegak dan membentuk empat persegi panjang) di atas lantai yang rata.
Umur
Umur ternak mempunyai peran yang penting, karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yang berpengaruh juga pada bobot badan ternak. Cara yang dapat digunakan untuk mengetahui umur sapi, diantaranya dengan recording, pemeriksaan gigi sapi dan memperhatikan pembentukan cincin tanduk.
Perkiraan umur melihat kondisi gigi adalah cara yang paling akurat. Perkiraan umur sapi melalui kondisi gigi dilihat dari pergantian antara gigi susu dengan gigi tetap, atau istilah umumnya adalah gigi poel. Poel merupakan proses yang menunjukkan adanya pergantian gigi seri permanennya, jika belum ada gigi seri permanen (0 pasang) sapi ditaksir berumur < 18 bulan, sedangkan jika jumlah gisis seri permenen sebanyak 1 pasang berarti sapi ditaksir berumur 18-24 bulan.
Keadaan cincin tanduk juga dapat digunakan untuk menafsirkan umur sapi. Penentuan umur sapi dilakukan dengan cara menjumlahkan angka 2 pada tiap lingkar cincin tanduk. Sebagai contoh, apabila terdapat 1 lingkar cincin tanduk maka berarti sapi tersebut bermutu 3 tahun. Penambahan angka 2 ini diambil dari rata-rata sapi bunting pada umur 2 tahun. Yang mana tiap cincin tanduk erat hubungannya dengan sistem reproduksi sapi. Cara pendugaan umur sapi ini cenderung kurang akurat karena sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan dan faktor beberapa sapi yang tidak bertanduk sehingga jarang dipergunakan.
Tinggi Pundak
Tinggi pundak dapat diukur dengan menghitung jarak tegak lurus dari tanah sampai dengan titik tertinggi pundak di belakang punuk sejajar dengan kaki depan dengan menggunakan tongkat ukur
Panjang Badan
Panjang badan dapat dihitung dengan cara mengukur jarak dari bongkol bahu (tuberositas humeri) sampai ujung tulang duduk (tuber ischii) menggunakan tongkat ukur
Lingkar Dada
Lingkar dada sapi Bali diukur dengan melingkarkan pita ukur pada bagian dada di belakang punuk
Lingkar skrotum
Lingkar skrotum dapat diukur dengan melingkarkan pita ukur pada bagian tengah skrotum.
Daftar Pustaka :
Chamdi, A. N. 2004. Karakteristik sumberdaya genetik ternak Sapi Bali (Bos bibos banteng) dan alternatif pola konservasinya. Biodiversitas. Vol 6 No.1 : 70-75.
Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Ngadiyono, N. 2012. Beternak Sapi Potong Ramah Lingkungan. PT. Citra Aji Paramia, Yogyakarta.
Pane, I. 1990. Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3 Bali. Prosiding. Seminar Nasional Sapi Bali. Bali, 20-22 September.
SNI 7651-4:2020. Bibit sapi Potong – bagian 4 : Bali. BSN. Jakarta.
Susilawati, T. 2017. Sapi Lokal Indonesia (Jawa Timur dan Bali). UB Press. Malang.
Williamson, G. dan W. J.A. Payne. 1993 Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi Ketiga (Terjemahan) Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Penulis : Nuraini, S.Pt., M.Sc (Penyuluh BPSIP Kepulauan Bangka Belitung)